Thursday, April 19, 2012

Prangko Sebagai Alat Mempertahankan Kedaulatan RI

Tulisan berikut ini berkaitan dengan sejarah. Belajar sejarah lewat prangko. Itulah hebatnya filateli, kita dapat menjelajah ke dunia manapun kita suka : geografi, sejarah, ekonomo, pariwisata, budaya, mengenal tokoh, dan cabang-cabang ilmu lainnya. Kepandaian dan kejelian filatelis sendiri dibutuhkan untuk mencari tahu tentang cerita di balik prangko yang ditampilkan.

Untuk pertama kalinya prangko-prangko cetakan Wina muncul dalam katalog prangko Indonesia 1997. Sebelumnya, bahkan mungkin sampai sekarang banyak kolektor prangko Indonesia yang meragukan status prangko ini, apakah sah atau prangko palsu.

Prangko-prangko revolusi cetakan Wina dipesan oleh Djawatan Pos, Telegrap dan Telepon yang dicetak di Austria oleh Staats Druche Tei di Wina dan EW Wright Bank Note Company di Philadelphia, Amerika Serikat. Prangko tersebut benar-benar telah digunakan di atas sampul surat periode 1949-1953. (Baca juga:Prangko Cetakan Wina, Prangko Resmi Republik Indonesia yang ditulis Suwito Harsono (majalah Kolektor Prangko) edisi no 3 Maret-April 1996) dan Prangko-prangko yang Turut Berjuang untuk Pengakuan Kedaulatan RI yang ditulis Muljana Sadioen (majalah Kolektor Prangko edisi no 1 Nopember 1995).

Lima prangko Wina seri Menembus Blokade Belanda (W-15, W16 KPI 1997) membuktikan bahwa prangko dipakai sebagai salah satu alat mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia atas Belanda. Beritanya pernah dimuat pada Harian Kedaoelatan Rakjat tanggal 18 November 1947 yang terbit di Yogyakarta.

Salah satu pelaku sejarah yang aktif menembus blokade Belanda adalah para "penyelundup Tionghoa" yang berpusat di Singapura. Dialah John Lie yang dikenal dengan Jahja Daniel Darma. Kelak dia menjadi salah satu perwira tinggi TNI AL dengan pangkat Laksamana Muda. Setelah meninggal, dia menerima Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto paa 10 November 1995.

John Lie

John Lie adalah mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM yang kemudian bergabung dengan angkatan laut RI. Awal karirnya dimulai dengan tugasnya di pelabuhan Cilacap dengan pangkat Kapten. Pangkatnya naik menjadi Mayor setelah ia beberapa bulan berhasil membersihkan ranjau yang ditanam tentara Jepang dalam menghadapi Sekutu di pelabuhan kecil itu.

Karena kas Negara saat itu masih tipis, Republik Indonesia menjual komoditas ekspornya ke luar negeri, Mayor John Lie mendapat tugas mengamankan pelyaran kapal yang mengangkut komoditas itu dengan kapal kecil cepat yang dinamakan The Outlaw. Sekitar tahun 1947ia pernah mengawal kapal yang mengangkut 800 ton karet untuk diserahkan kepada perwakilanRI di Singapura, Utoyo Ramelan.

Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk ditukar dengan senjata. Kemudian senjata ini diserahkan kepada pejabat republik yang ada di Sumatra seperti bupati Riau untuk melawan Belanda. Secara rutin Mayor John Lie melakukan operasi menembus blokade Belanda, tercatat paling sedikit 15 kali. Dengan kapal kecil itu mereka berjuang menghindari kapal patroli Belanda dan menghadapi samudera.

Suatu ketika ia ditangkap perwira Inggris dan diadili di Singapura karena membawa 18 drum minyak kelapa sawit. Karena terbukti tidak melanggar hukum, ia dibebaskan. saat membawa senjata semi otomatis dari Johor ke Sumatera, ia dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas dan pesawat itu meninggalkan The Outlaw tanpa meninggalkan apa-apa.

Senjata diserahkan kepada Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah. Mereka juga mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal The Outlaw milim RI dan diberi nama PPB 58 LB. Joh Lie mendirikan basis angkatan laut di Port Swettenham di Malaya guna menyediakan bahan bakar, bensin, makanan dan senjata untuk perjuangan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.

Saat berada di Bangkok awal 1950 ia dipanggil ke Surabaya ole KSAL Subijakto yang memberi tugas untuk menjadi komandan kapal perang Rajawali. Selanjutnya ia ikut menumpas RMD dan PRRI Permesta.

No comments:

Post a Comment